Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul
Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak
mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“[23]
Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied
Dari Jabir bin
Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah
melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada
adzan maupun iqomah.”[24]
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat
shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga
ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.”
Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]
Tata Cara Shalat ‘Ied
Jumlah raka’at
shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah
sebagai berikut.[26]
Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat
lainnya.
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali
takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh
mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan
oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat
meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya
dalam setiap takbir.”[27]
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada
bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia
mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28]
Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca
bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
“Subhanallah wal
hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha
suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk
disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun
ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga
membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat
lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua.
Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy
mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat
Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]
Boleh juga membaca
surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua.
Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al
A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada
shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma
robbikal a’la” (surat Al A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat
Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied
bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di
masing-masing shalat.[30]
Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti
biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).
Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali
takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana
yang telah disebutkan di atas.
Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
[1] Lihat Bughyatul
Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul,
hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[2] HR. Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3] Kami sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul
Bahiyyah, 1/202, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang dimaksud, kira-kira 2o menit setelah matahari terbit
sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh
Hadits Al Arba’in An Nawawiyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas
hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun
Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq:
Syu'aib Al Arnauth dan 'Abdul Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal.
201, Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’ Al Islam.
[11] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[12] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[13] HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/602.
[15] Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al
Irwa’ (3/123)
[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
24/220, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR. Bukhari no. 977.
[21] HR. Bukhari no. 986.
[22] HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[23] HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR. Muslim no. 887.
[25] Zaadul Ma’ad, 1/425.
[26] Kami sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali
‘Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul
‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al
Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR. Muslim no. 891
[30] HR. Muslim no. 878.
[31] HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,
1/425. Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied
adalah Marwan bin Al Hakam.
[34] Idem
[35] HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[36] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam
As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid
(riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili
dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad
hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al
Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits
ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al
Maktabah At Taufiqiyah.
[40] HR. Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal
Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.
0 Coretan