Khutbah Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu ‘Umar, ia
mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat
‘ied sebelum khutbah.”[31]
Setelah melaksanakan
shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah
(bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33]
Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah)
sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammembuka khutbah ‘iednya dengan bacaan
takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah
khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai
khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]
Jama’ah boleh
memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia
berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau
bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku saat ini akan berkhutbah.
Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa
yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]
Ucapan Selamat Hari Raya
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika
hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa
setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika”
dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi.
Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan
dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam
Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya
pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan
membalasnya“. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan
selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang
dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam
ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah
(contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah
(contoh).”
Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Bila hari ‘ied jatuh
pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya
pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan
untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan
menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied
bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan
pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas dan Ibnu Az Zubair.
Dalil dari hal ini
adalah:
Pertama:
Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah
menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau
pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu
dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at)
dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa
yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi
keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan
melaksanakannya.”[36]
Kedua: Dari ‘Atho’,
ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah
shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat
Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu
Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan
kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia
adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37]
Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti
statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]
Diceritakan pula
bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az
Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair.
Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah
menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak
diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka
ini.[39]
Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.
Siapa saja yang
tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria
maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at)
sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]
Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
[1] Lihat Bughyatul
Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul,
hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[2] HR. Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3] Kami sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul
Bahiyyah, 1/202, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang dimaksud, kira-kira 2o menit setelah matahari terbit
sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh
Hadits Al Arba’in An Nawawiyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas
hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun
Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq:
Syu'aib Al Arnauth dan 'Abdul Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal.
201, Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’ Al Islam.
[11] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[12] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[13] HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/602.
[15] Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al
Irwa’ (3/123)
[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
24/220, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR. Bukhari no. 977.
[21] HR. Bukhari no. 986.
[22] HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[23] HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR. Muslim no. 887.
[25] Zaadul Ma’ad, 1/425.
[26] Kami sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali
‘Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul
‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al
Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR. Muslim no. 891
[30] HR. Muslim no. 878.
[31] HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,
1/425. Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied
adalah Marwan bin Al Hakam.
[34] Idem
[35] HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[36] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam
As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid
(riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili
dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad
hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al
Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits
ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al
Maktabah At Taufiqiyah.
[40] HR. Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal
Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.
0 Coretan