Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Tempat pelaksanaan
shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika
ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah
shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul
Adha menuju tanah lapang.“[9]
An Nawawi
mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang
menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini
lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang
dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah,
maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil
Haram.”[10]
Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied
Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim
mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar
yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]
Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika
shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]
Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul
Fithri.
Dari ‘Abdullah bin
Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan
beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan
lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil
qurbannya.”[13]
Hikmah dianjurkan
makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa
hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan
untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih
dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]
Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat
disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri,
lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak
dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari
bertakbir.”[15]
Dari Ibnu ‘Umar, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat
shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah
bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin
Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa
ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]
Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:
[1] Disyari’atkan
dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini
berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]
[2] Di antara lafazh
takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu akbar,
Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd
(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah
dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian
hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini
dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh
ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]
Syaikhul Islam juga
menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar,
Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.[19]
Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied.
Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami
sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah,
yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan dalil
mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya,
“Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
“Iya, aku
menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat
junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]
Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau
mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika
berangkat dan pulang.“[21]
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak
memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki,
begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[22]
[1] Lihat Bughyatul
Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul,
hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[2] HR. Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3] Kami sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul
Bahiyyah, 1/202, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang dimaksud, kira-kira 2o menit setelah matahari terbit
sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh
Hadits Al Arba’in An Nawawiyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas
hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun
Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq:
Syu'aib Al Arnauth dan 'Abdul Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal.
201, Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’ Al Islam.
[11] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[12] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[13] HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/602.
[15] Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al
Irwa’ (3/123)
[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
24/220, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR. Bukhari no. 977.
[21] HR. Bukhari no. 986.
[22] HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[23] HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR. Muslim no. 887.
[25] Zaadul Ma’ad, 1/425.
[26] Kami sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali
‘Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul
‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al
Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR. Muslim no. 891
[30] HR. Muslim no. 878.
[31] HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,
1/425. Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied
adalah Marwan bin Al Hakam.
[34] Idem
[35] HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[36] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam
As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid
(riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili
dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad
hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al
Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih. Intinya, hadits
ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al
Maktabah At Taufiqiyah.
[40] HR. Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal
Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.
Sumber
Sumber
0 Coretan