dingin, orang-orang koyah (berbicara sedikit nggak mengarah) tentang kepentingan yang mendasar untuk pemilihan ketua RT ini. Tentu forum ini tidak resmi, sebab mereka hanya orang-orang kecil ditambah lagi kang-kang santri yang kadang sok tahu.
Pak Joko lagi asyik bercerita-cerita dengan Kang Yusuf, ustadz pondok putri yang kebetulan sore itu singgah di warung Lek Jo dan datang bersama Gus Irul yang juga seorang ustadz bantu di pesantren. Cerita itu tentang Anak, Bapak dan Kuda, begini singkat ceritanya;… alkisah, ada anak dan bapak yang sedang bepergian dengan mengendarai kuda. ketika memasuki suatu pedukuhan atau perkampungan, karena sang bapak kasihan dengan anaknya yang harus berjalan kaki, maka ia menyuruh anaknya menaiki kuda, sedang sang bapak berjalan kaki, mengiringi. Kemudian bertemulah mereka dengan seseorang dan ia berkomentar, “Anak nggak punya sopan santun, membiarkan bapaknya berjalan kaki.” Mendengar komentar itu, lalu sang bapak bergantian menaiki kuda. Perjalanan dilanjutkan, dan si anak berjalan kaki mengiringi. Bertemulah mereka dengan seseorang orang lainnya, dan orang itu pun berkomentar, “Bapak tidak tahu diri dan tidak punya kasihan pada anak, membiarkan anaknya berjalan kaki.”Akhirnya, bapak dan anak itu sepakat untuk tidak menaiki kuda. Mereka berdua berjalan dan kudanya mengiringi. Dalam perjalanan selanjutnya, bertemulah mereka dengan orang yang lain lagi. “Hanya orang bodoh yang punya kendaraan kuda tapi nggak ditunggangi, mau sampai kapan tiba di tujuan,” komentar orang itu. Pak joko kemudian menyela tanya, “Hehehe… Kita mungkin sudah akrab dengan cerita itu, tapi sekedar menyegarkan kembali. Ada dua hal pokok: satu, bagi yang menjalani yakni bapak dan anak, lalu yang kedua untuk yang asal komentar tanpa melihat muasalnya.” “Iya, pak. Kalau Pak Joko jadi Bapaknya, kemudian mau bersikap bagaimana?” tanya mas Pri yang sejak tadi khusuk mendengarkan cerita. “Wah, jangan memancing di air keruh. Kalian tentu tahu sekarang sudah nggak zamannya kerajaan, tapi tetap saja yang namanya anak macan akan menjadi macan, ya kan?” jawab Pak Joko. “Beda versi, pak. Kalau yang aku pernah baca, dalam cerita, kuda itu akhirnya mati sebab ditunggangi kepentingan anak-bapak yang serakah dan nggak kasihan sama kendaraan yang mereka berdua tunggangi,” tiba-tiba celetuk mas guru Anam memecah udara. Semua memandang ke dia.
Suasana yang tadinya tenang kini agak tersentak oleh komentar mas Guru Anam, seorang guru muda, yang menjadi ketua Karang taruna. Ia sangat mengedepankan modernitas dan ia di garda depan pemilihan ketua RT yang menginginkan dengan sistem demokratis. “Mohon, maaf. Sedikit menyela, saya cuma kang santri di pesantren, di dusun ini dan tentu kurang tahu menahu tentang kebiasaan di saat pemilihan ketua RT,” tanya Kang Yusuf. “Maksudnya, tolong yang jelas?” sahut Mas Guru Anam. “Tentang cara pemilihan yang biasanya digunakan di RT sini,” lanjut kang Yusuf. “Kang Yusuf, sejak dulu pemilihan ketua RT dilakukan dengan cara ditunjuk oleh anggota musyawarah yang disepakati bersama. Anggota-anggota itu berisikan sesepuh dan orang-orang terpandang di dusun ini.” Pak Joko menjawabnya. “Wah, kalau menurut saya kok yang pas itu seperti pemilu, sebab yang jadi warga itu bukan cuma para sesepuh dan orang-orang terpandang,” sanggah mas guru Anam. “Begini, Mas Guru. Pemilihan dengan cara musyawarah mufakat mengurangi adanya indikasi money politik di akar rumput,” bela Mas Pri. “Iya, emang benar. Tapi di kalangan elit orang-orang terpandang, apa juga tidak ada money politik juga? Meski kadang bentuknya untuk kesejahteraan dan kemakmuran, tapi yang menikmati kan orang-orang itu juga,” sangkal Mas Guru Anam. “Hehehe… Mas Guru, singkat cerita Anda ingin semua kebagian gitu kalau pakai cara sistem “itung biting”, apa justru seharus diminimalisir?” Timpal Pak Joko. “Bukan begitu maksud saya?” kata mas Guru Anam. “Hoy, lha wong cuma pemilihan ketua RT saja, sudah pada ribut. Yang inilah? Yang itulah? Yang nggak kredibel, bukan orang asli daerah sini… coba sekarang daripada ribut-ribut yang nggak jelas, mendingan kita tanyai sedikitlah Pak Joko dan minta kejelasan kenapa tadi bilang sudah “Sudah nggak zamannya kerajaan,” kata Gus Irul sedikit menengahi ketegangan pembicaraan. “Ya, emang gitu kok, Gus.
Sekarang tuh orang yang bertanggungjawab, punya visi yang mampu untuk mengentaskan ketidakadilan dan mampu mengayomi semua kerukunan tetangga itu yang bagus.” Jawab Pak Joko. “Maksudnya dan apa hubungannya dengan sistem kerajaan” pinta Gus Irul lagi. “Lho sudah tentu, kalau bapaknya macan anaknya pasti jadi macan. Tapi permasalahannya si anak ini macan ompong atau tidak? Ha ha ha… itu yang membedakan,” gurau Pak Joko. Hahaha… “Bapak dan anak harusnya konsisten mengedepankan warga, sekarang kan sudah nggak zaman tuh KTP dipungut biaya, ini sekedar contoh lho,” celetuk mas Pri. “Mungkin kalau hanya sekedar untuk dapat uang di ketua RT itu ga ada, mas. Tapi status sosial dan gandeng canenge setelah itu yang mungkin menggiyurkan,” kata Kang Yusuf. “Dan bukan tidak mungkin lagi, segala cara digunakan demi sebuah kepantingan? Tentunya kepentingan yang baik dan jangan sebaliknya atau malah kayak cerita kuda dari Mas Anam. Ditunggangi sampai kelelahan dan mati, ini sebab kurang perawatan atau masa bodoh yang penting bisa ambil untung?” tambah Gus Irul.
Hahaha… Lek Jo yang sejak tadi menyimak tiba-tiba nyeletuk, “Negara mawa cara, desa mawa tata.” “Apa artinya, Lek?” Tanya Gus Irul. “Itu udah Azan Maghrib, besok lagi saja biar dijelaskan Pak Joko,” Jawab lek Jo sambil jalan ke jendela dan lekas menutupnya. Orang-orang yang sedianya masih asyik cangkruk dan minum kopi pun seketika itu berkemas untuk membayar kemudian meninggalkan warung.
NB: Balon: Bakal Calon Itung biting: jenis pemilihan langsung dengan cara tiap warga memasukkan biting/ lidi ke bumbung yang sudah disediakan panitia. Desa mawa cara, negara mawa tata.
Oleh: Bejo Halumajaro
0 Coretan