"Ikhtiar adalah memilih”, mungkin itu yang dapat kusimpulkan dari percakapanku bersama Lek Jo dan seseorang yang baru saja sowan ke Kiai Sholeh itu. Orang yang baru saja sowan itu sebut saja, Ia. Sebab
tanpa mengenalkan diri, ia telah berkisah dan dalam percakapan itu sepertinya ia sangat terima kasih kepada Lek Jo yang telah menyarankan ia untuk bersilaturahmi ke ndalem Kiai Sholeh pagi tadi.Sebelum untuk kedua kalinya orang itu datang ke kedai ini, Lek Jo tadi sebenarnya sempat sedikit bercerita. Tentang seseorang yang merasa dirinya ‘hanya sebuah robot’, yang dipaksa untuk selalu trengginas beraktifitas menuntaskan kerjaan. Dalam hati aku bergumam, bukankah bagus yang seperti itu. Tapi entah, tadi aku merasa kurang ngeh menanggapi apa yang diperbincangkan Lek Jo, sampai kemudian orang itu datang lagi untuk kedua kali. Bla… bla… bla… Panjang kali lebar sama dengan luas dan Lek Jo begitu banyak bercerita sampai aku sulit mengingat. Dan seingatku, Lek Jo hanya sangat kasihan akan psikis yang dialami orang itu.
“Kang, kau takkan menyangka? Sungguh yang ada di hadapan kita dan apa yang telah kita jalani dalam beraktifitas, bila tidak ada muhasabatun nafsi maka seringkali kita jadi salah niat. Ingatkah, pada awalnya memang benar. Kita jelas menginginkan tujuan itu, tapi sangkut paut dan gandeng ceneng suatu peristiwa dan kekalutan suasana kadang bisa merubah segalanya,” ucap lek Jo.
“Maksudnya apa ini tentang orang yang datang tadi pagi itu, Lek?” timpalku.
“Yaa, untukku juga dan untuk kamu juga nggak apa-apa. Eh… itu tadi orang yang kuceritakan datang lagi kemari!” Jawab Lek Jo sembari beri isyarat atas kedatangan seseorang yang menuju ke kedai. Oh, ia ternyata begitu rapi, berperawakan tegap dan mungkin berdada bidang di balik balutan kemeja junkies putih lengan panjang yang ia lipatkan hingga ke bawah siku. Dari wajahnya terpancar rasa percaya diri yang terpuaskan, ada semacam keyakinan yang terpendar. Padahal, seingatku tadi Lek Jo menggambarkan orang itu tampak murung dan dipenuhi kecemasan. Sungguh nggak cocok dengan yang aku hadapi.
“Bagaimana?” Tanya Lek Jo tiba-tiba ketika orang itu masuk ke kedai.
“Alhamdulilah, Lek. Apa yang saya risaukan ternyata hanya kerisauan masalah lahiriyah, kerisauan luar yang hanya disebabkan dari kesalahan logika pribadi. Saya berterima kasih, Lek,” kata orang itu.
“Pinarak dulu, Mas. Panas-panas seperti ini jangan tergesa-gesa,” sambil bergeser tempat duduk, aku menyilahkan duduk ke orang itu.
“Jangan berterima kasih kepada saya. Kiai Sholeh tadi dawuh gimana?” sahut Lek Jo.
“Iya, mungkin memang salah saya, Lek. Dari semula memaksakan diri kemudian meremehkan sampai-sampai akhirnya memberanikan diri untuk berbuat itu dan tak peduli meninggalkan begitu saja. Tapi sebenarnya ada bermacam keanehan yang entah aku sendiri tidak tahu, kalau yang seperti itu pada awal-awalnya mengapa banyak membawa keberuntungan? Dan ini saya anggap sebagai suatu keistimewaan yang orang lain tentunya tidak punya. Namun, kalau diresapi lebih dalam dan sungguh-sungguh merenung, pada titik jenuh aku merasakan sesuatu yang tidak utuh,” kata orang itu. Lek Jo hanya mengangguk-angguk dan sesekali menghela nafas panjang. Di sebelahnya aku hanya diam, mengerutkan kulit jidat sebab tak paham.
“Yang sabar, Mas. Semua ada hikmahnya. Yang terpenting kau sudah kembali dan tentunya tak ingin mengulang lagi kan?” kata Lek Jo.
“Ikhtiar adalah memilih, tadi Kiai Sholeh dawuh begitu. Lalu beliau menerangkan bahwa banyaknya waktu belum tentu akan melapangkan rizqi dan akan mendapat hasil melimpah. Tapi, sesungguhnya berkah waktu yang akan lebih menentukan hasil yang diberikanNya. Dan, mengenai berkah tentunya kau mampu memilih. Kita manusia sudah diberi keistimewaan berupa nafsu. Dan contoh-contoh telah ada. Tinggal diri kita mau apa tidak,” kata orang itu. Sepertinya orang itu menirukan dawuhnya Kiai Sholeh. Tapi aku masih belum paham dengan percakapan ini dan akhirnya aku hanya diam dan diam…
“Kau ceritakan semuanya. Yang aneh dan yang mengganjal di hati,” tanya Lek Jo lagi.
“Iya, Lek. Beliau banyak menceritakan pula tentang keistimewaan diri dan oleh sebab itu banyak orang-orang yang tertipu diri sendiri dengan menipu diri sendiri. Kemudian beliau dawuh, ‘Jangan terlintas di pikiranmu, kamu mendapatkan keistimewaan diri dengan hanya beribadah dan wirid saja, atau sebaliknya seperti yang kamu lakukan. Karena keistimewan diri yang mulia dan tinggi nilainya adalah dengan istiqamah di dalam beribadah,” kata Orang itu.
Aku mulai paham dengan yang diomongkan, tapi tiba-tiba orang itu berkata, “Saya mohon diri dulu. Kapan-kapan, insyaAllah disambung. Ada acara lainnya, Lek. Wassalamu’alaikum. Mari, Kang…”
“Wa’alaikumsalam, hati-hati di jalan, Mas!” sambil salaman Lek Jo berkata dan kemudian menghantarnya sampai ke depan kedai.
Setelah orang itu membalikan punggung dan meninggalkan kedai, Lek Jo kemudian aku hadang dengan pertanyaan seputar percakapan tadi yang sempat membuat aku diam, “Sebenarnya ada apa tho, Lek?”
“Iya, persis seperti apa yang dia ucapkan tadi.”
“Maksud, saya. Siapa dia dan kenapa?”
“Hmm, mungkin seseorang yang diberi hidayah. Ia bekerja di bidang Manajemen Bisnis Marketing, semacam salesman yang menawarkan barang-barang produk rumah tangga dan beroperasi dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu. Pekerjaannya menuntut untuk selalu enerjik dan butuh ketelatenan dalam menghampiri satu per satu calon pembeli.”
“Apa hubungannya, Lek?”
“Bentar, ngomongku belum selesai… Dalam menjalani pekerjaannya itu ia digoda kemalasan dalam melakukan ibadah, terutama salat. Tapi tiap kali ia meninggalkan, bisnisnya malah lancar. Ia jadi bingung, sudah jelas ia melakukan kekeliruan tapi kok malah begini. Kadang nafsunya malah menambah-nambahi tanya, apakah ibadah cuma salat? Atas kebingungan-kebingungannya itu, aku tadi menyarankan ia untuk sowan Kiai Sholeh. Dan sepertinya ia telah kembali.”
“Semoga, Lek!”
“Hmm, orang akan selalu bilang, ‘yang tahu hanya aku dan Tuhanku’. Meski tidak semua dinilai dari itu. Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya dan bisa nderek tindak lampahe Kanjeng Nabi.” kata Lek Jo sambil menghempaskan hembusan nafasnya dan yang seperti ini, sepertinya dapat membuang segala beban pikirannya.
“Amin… ya Rabbal ‘alamin”
Oleh : Bejo Halumajaro
Catatan:
Ndalem: rumah
Trengginas: enerjik
Ngeh: semangat
Muhasabatun nafsi: intropeksi diri
Gandeng ceneng: berkaitan
Kemeja junkies: kemeja ketat
Dawuh: petuah
Nderek tindak lampahe Kanjeng Nabi: Mengikuti sunnah Nabi.
0 Coretan