Setiap peristiwa yang dialami seseorang senantiasa mengandung hikmah yang
diselipkan Allah Azza wa Jalla. Tujuan Allah meletakkan hikmah itu, tidak lain agar
manusia dapat menjadikannya sebagai pelajaran (ibrah), dan mengambil manfaat
darinya untuk kemudian dijadikan dasar
dalam menapaki kehidupan. Dalam
cerita-cerita yang disampaikan Allah melalui al Quran, Allah senantiasa
menekankan betapa pentingnya kecerdasan sebagai wasilah untuk memahami hikmah
di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ
ِلأُوْلِي اْلأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي
بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
Artinya: “Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf; 111)
وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ
أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ
وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan semua kisah dari para
Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu; dan (dalam surat ini) telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran
dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud; 120)
Ayat ini diturunkan oleh Allah swt.
untuk menguatkan hati Nabi saw., agar jangan sampai terpengaruh oleh cacian
orang-orang yang memusuhinya. Dalam ayat ini, Allah juga menjelaskan bahwa para
Rasul dahulu juga mengalami peristiwa yang sama dengan yang dialami Nabi saw.
Sehingga Nabi saw. diharapkan benar-benar memerhatikan kisah-kisah para Nabi
yang telah diwahyukan kepada beliau. Beliau menghayati segala peristiwa yang
menimpa para pendahulunya, dan menjadi tahu bahwa medan perjuangan yang dialami
setiap penyampai ajaran Allah sangat berat. Berbagai bentuk ujian harus mereka
hadapi dengan penuh kesabaran dan ketawakalan. Semua sudah diatur oleh Allah
yang Maha Arif lagi Maha Kasih.
Kecerdikan Nabi dalam menghayati setiap peristiwa yang terjadi pada para Nabi
sebelumnya, ternyata berpengaruh besar dalam menentukan sikap ketika menangani
setiap persolan yang sedang menimpa. Buah penghayatan Nabi dari kisah para Nabi
sebelumnya antara lain adalah, beliau menjadi lebih sabar dalam menghadapi
umatnya, bijak dalam bertindak, cerdas mengambil langkah-langkah strategis, dan
yang tak kalah penting adalah kesadaran akan peran serta Allah dalam setiap
peristiwa.
Kesadaran akan peran serta Allah
dalam setiap peristiwa, hendaknya diiringi pula dengan berprasangka baik kepada
Allah swt. Sebab, manusia yang hidupnya selalu diliputi dengan prasang buruk,
jangankan memperoleh hikmah dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya,
mendapatkan hidayah saja boleh dikatakan mustahil. Sehingga hidupnya akan
senantiasa dirundung kegalauan. Karenanya, untuk mengetahui hikmah dari setiap
peristiwa yang sedang menimpa, hendaknya seseorang mengedepankan sikap
berprasangka baik atau husnudzan kepada Sang Maha Pencipta. Terlebih,
berprasangka baik kepada Allah swt. merupakan bentuk ibadah yang lain. Nabi
Muhammad saw. bersabda:
إِنَّ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ مِنْ
حُسْنِ عِبَادَةِ اللَّهِ
Artinya: “Sesungguhnya berbaik
sangka kepada Allah adalah sebagian dari baiknya beribadah kepada Allah.” (HR.
Ahmad)
Selain itu, jika seseorang telah
berbaik sangka kepada Allah, maka berarti ia telah percaya terhadap semua
tindakan Allah. Dan tentunya, ia juga harus yakin bahwa di balik tindakan Allah
pasti terkandung hikmah, kebaikan, dan manfaat bagi dirinya. Karena tidak ada
tindakan Allah yang tergolong sia-sia. Allah swt. Berfirman:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ
وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لاَعِبِينَ
Artinya: “Dan tidaklah Kami ciptakan
Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”
(QS. Al-Anbiya’; 16)
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ
وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلاً
Artinya: “Dan tidaklah Kami ciptakan
langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya sesuatu yang batil (tanpa
hikmah).” (QS. Shad: 27)
Di antara kelompok yang dikenal sebagai ahli dalam mencari hikmah adalah ulama
sufi. Para ulama sufi memiliki teknis khusus dalam menggali hikmah. Yakni,
dengan mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah dimiliki. Karena Nabi sendiri
mengatakan;
مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمُ وَرَّثَهُ
الله ُعِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya: “Barangsiapa mengamalkan
ilmu yang sudah ia dapatkan, maka Allah akan memberikan pengetahuan yang belum
pernah ia ketahui.”
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa,
hikmah tersebar di mana-mana dan tidak terhitung jumlahnya, karena terlalu
banyak dan begitu luasnya. Hikmah hanya dapat dibuka dengan mujahadah,
muraqabah, dan mengerjakan amal-amal lahir dan batin. Duduk bersama Allah dalam
kesenderian (al-khalwah) dan penuh kesadaran (hudlur al-qalbi), itulah pintu
ilham dan sumber keterbukaan (hikmah). Banyak sekali pelajar yang berlama-lama
dalam menuntut ilmu, namun tidak mampu untuk mengamalkan apa yang ia peroleh,
meski hanya satu kalimat saja. Sementara itu, tidak sedikit orang yang hanya
membatasi diri pada hal-hal yang penting, namun maksimal dalam beramal dan
mengawasi hati, Allah telah membukakan baginya pintu rahasia, hikmah, dan
pengetahuan yang halus, yang dapat membuat bingung orang-orang berotak cemerlang.
Di balik setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Ulama ushul fikih mengartikan
hikmah sebagai manfaat yang diperoleh dan marabahaya yang dapat dijauhi. Jika
kita terapkan dalam peristiwa yang kita alami, berarti pengalaman-pengalaman
yang dapat kita ambil manfaatnya, dapat kita gunakan untuk menangkal hal-hal
yang membahayakan dan membuat usaha kita gagal. Dengan demikian, kita telah
berusaha menjadi orang yang cerdas dalam memanfaatkan hikmah Ilahiyah,
pengajaran Allah untuk kehidupan kita. Maka, sungguh beruntung orang yang
dianugerahi hikmah. Allah swt. berfirman;
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلاَّ أُولُو اْلأَلْبَابِ
Artinya: “Allah menganugerahkan
“hikmah” kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah).” (QS. Al-Baqarah; 269)
Syaikh Ibrahim An-Nakha’i mengatakan
bahwa, arti dari “al-hikmah” dalam ayat di atas adalah pemahaman. Jadi, orang
yang dianugerahi pemahaman (terutama tentang hal-hal yang dapat menjadikan ia
lebih dekat kepada Allah) telah mendapatkan anugerah dan karunia yang banyak,
baik karunia keduniawian maupun karunia kerohanian.
0 Coretan