Door Duisternis Tot Licht

Nduk, dari mana?” tanya Kang Yazid mengagetkan dua orang santri putri yang jadi penumpang di becaknya. “Saya habis belanja, Kang,” jawab salah satu santri putri yang berkerudung putih.
Kebetulan bagi Kang Yazid, sewaktu balik dari mengantar penumpang becak, seorang santri putra ke stasiun lalu ketika balik ia mendapat penumpang balikan dua orang santri putri. “Bukan itu. Sampean asalnya mana?” Lanjut kang Yazid. “Pondok Putri Kiai Husain,” jawab salah satu santri putri itu lagi menunjukkan di mana dia Mondok. Muka Kang Yazid agak kecut, ia bingung juga; apa yang ditanyakan ternyata tidak sambung dan Kang Yazid bertanya lagi, “Maksud saya Sampean asli dari daerah mana?” “Owh, saya dari Jepara…”

Kang Yazid pun terus terdiam, sambil mengayuh becak alur pikirannya teringat seorang pejuang emansipasi wanita dari Jepara. Ya, Raden Ajeng Kartini. Seorang istri ke empat dari Bupati Rembang di awal abad 20 pada masa kolonial, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Dalam batin kang Yazid bertanya, seorang yang kritis macam R.A. Kartini mengapa mau dipoligami? Mungkin masalah budaya, adat atau pertimbangan lain? Kang Yazid jadi ingat obrolannya dengan Den Dargo, Mas Lukman, dan Kang Sobri di Warung Lek Jo, beberapa saat lalu.
****
Habis Gelap Terbitlah Terang
“Jarwo dhosok, kata Wanita dalam tata bahasa Jawa sering diartikan wani ditata, berani untuk diatur.” Begitu kata Den Dargo memulai kata, ketika disodori pertanyaan oleh Kang Sobri tentang wanita. “Lho, budaya kita itu sejak dari zaman kerajaan, selalu menitik beratkan pada keluwesan seorang wanita. Kalian tahu tembang-tembang mocopat, kalau kita buka maknanya, maka terdapat hikmah pitutur bagi kelangsungan keseimbangan hidup yang dimulai dari seorang wanita,” lanjut Den Dargo.
“Tapi sayangnya… Iya, kan? Sudah banyak yang melupakan budayanya sendiri. Mana ada anak-anak sekarang yang bisa nembang langgam Kinanthi, Pangkur, Maskumambang, Dhandang Gula atau lainnya?” imbuh Mas Lukman.
“Riquest, Den! Satu langgam saja…” pinta Kang Sobri.
“Yen sira winengku kakung
ywa filar lomparing uni
tetuladhan kuna-kuna
kadising Rasulullah
kang amrih utamaning dyah
antuka swarga di”
Den Dargo kemudian nembang langgam ini, lalu ia berkata, “Bila engkau mendampingi suami, jangan lupa kisah dahulu, teladan zaman kuna, Hadis Rasulullah, demi keutamaan wanita sarana masuk surga. Kurang lebih begitu artinya, itu langgam Kinanthi dan masih banyak lagi langgam-langgam lainnya yang hampir sama dalam konsep kejawaan yang mengatur tata laku pria-wanita.”

“Hmm, wanita… Kalau dulu wanita dijajah oleh adat, dipingit nggak boleh berbuat lebih, tapi kalau sekarang terjajah oleh modernitas, ekspresi berlebih yang mengarah pada kebebasan yang keblabasan,” Kang Sobri mengambil kesimpulan salah.
“Ngomong apa, Kang?” sambung Kang Yazid.
“Lho, sekarang kan ngetrend itu, cewek-cewek pake celana pendek di atas lutut… Dan itu apa yang diharapkan R.A. Kartini, pejuang emansipasi?” imbuh Kang Sobri.
“Ah… kalau nggak paham sejarah, jangan asal ngomong. R.A. Kartini begitu mulia, di awal tahun 1900-an telah mendirikan sekolah gratis untuk para wanita pribumi. Kita tahu, di tahun-tahun itu bagaimana keadaan bangsa ini. Terjajah, bukan? Semua serba keterbatasan dan dibatasi oleh penjajah,” kata Mas Lukman.

“Kartini adalah seorang pemudi yang begitu dahaga akan perubahan yang positif bagi para wanita khususnya dan bagi keluarga secara umumnya. Dan satu yang membuat saya takjub, tentang keberaniannya meminta kepada Kiai Sholeh bin Umar dari daerah Darat, Semarang, untuk menerjemahkan al Quran ke bahasa Jawa. Begini sedikit penggalan permintaan Kartini, ‘Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?’ Beberapa saat kemudian Kiai Sholeh Darat mengabulkan permintaan itu, dan sebuah kitab Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran menjadi kado indah di hari pernikahan R.A. Kartini,” Den Dargo menjelaskan.

“Hmm,…”
“Tapi Kartini meninggal muda, di usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan putra pertama sekaligus terakhirnya,” Kata Mas Lukman.
“Biarpun meninggal di usia yang masih cukup muda, tapi Kartini telah menanamkan semangat bagi penerus bangsa ini. Mengajarkan wanita bukan hanya menjadi kanca wingking, dan mengenalkan pemahaman swargo nunut neraka katut. Ada satu kutipan darinya yang begitu mendasar, “Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri.“ lanjut Den Dargo.
“Den, apa sampean lagi baca buku karya R.A. Kartini?” tanya Mas Lukman.
“Iya, kemarin beli di Bazar Buku,” Jawab Den Dargo.
“Kok sama, hahaha…” sahut Mas Lukman.
“Pantas saja, ceritanya bisa Kompak,” sambung Kang Sobri.
“Hehehehe,…”
****
“Kang, kalau beli minuman susu jahe di mana?” tanya salah satu penumpang cewek itu mengagetkan Kang Yazid yang mengayuh becak sambil mengingat-ingat obrolannya di warung Lek Jo tadi pagi. “Ya, nanti saya antar ke tempat itu.. buat oleh-oleh temen, ya?”
“Bukan, tadi ada yang nitip saja,” jawabnya. Tanpa banyak cakap, Kang Yazid kemudian menuju ke Kedai minum Lek Jo.

Footnote:
Nduk: Sapaan Akrab Bahasa Jawa untuk Perempuan yang lebih muda.
Jarwo Dhosok: Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yg ditulis dan dilafalkan sebagai kata yg wajar (misal; mayjen-mayor jenderal, rudal-peluru kendali, dan sidak-inspeksi mendadak).
Macapat: Tembang Jawa, ada 10 macam: Mijil, Pangkur, Kinanthi, Dhandang Gula, Sinom,Asmaradana, Megatruh, Durma, Maskumambang, Pucung.
Swargo Nunut Neraka Katut: Semua wanita tentu berbahagia bila suaminya mendapat kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan dalam masyarakat. Tanpa harus bersusah payah, istrinya mempunyai hak penuh untuk menggunakan fasilitas dari suaminya itu. Inilah makna swarga nunut dan begitulah sebaliknya neraka katut.

Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah terang) adalah Judul buku karya R.A. Kartini yang berupa kumpulan tulisan surat-menyurat beliau dengan teman-teman Eropa. Door Duisternis Tot Licht, ungkapan ini sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari petikan firman Allah Swt, yaitu Min al-Dzulumaati Ila al-Nuur yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257.



Load disqus comments

0 Coretan