Kisahnya


Oleh : Zulfatun Ni’mah

Jam kuno yang terpasang di menara masjid menggemakan dentangnya empat kali. Aku buru-buru menutup naskah latihan pidato dan membenahi penampilan agar tampak lebih berkharisma. Sayup-sayup lantunan ayat suci mulai terdengar, sangat merdu dan menggetarkan kalbu. Pelantunnya adalah seratus dua puluh santri putri yang aku bina selama tiga tahun untuk dapat membaca seluruh ayat
al Quran yang mulia dengan fasih, indah dan penuh penghayatan. Bulan depan mereka akan diwisuda dan harus menampilkan kemampuannya menghafalkan juz 30 di hadapan wali santri dan undangan. Mereka harus tampil memukau dan sebagai pengajarnya secara otomatis aku akan diakui kehebatannya. Sore ini aku cukup puas dengan latihan mereka yang tampak lebih serius dari pada kemarin. Ceramahku untuk bersungguh-sungguh rupanya benar-benar diperhatikan para santri. Sebelum kembali ke rumah, aku panggil Wijha, Lurah Pondok Putri.

“Wijha, nanti setelah Maghrib kamu dan semua pengurus kumpul di ndalem (rumah kiai), kita mau musyawarah tentang seragam khataman buat haul besok,” perintahku. “Njih (ya) Bu” jawab Wijha singkat. Wajahnya ditundukkan dalam-dalam dan matanya memandang ke lantai, kemudian ia pergi dari hadapanku sambil berjalan dengan lututnya, seperti dayang berlalu dari hadapan raja.
Wijha adalah santri kesayanganku. Bagaimana tidak? Parasnya menawan, kulitnya bersih, akhlaknya sangat baik, cermin perempuan salihah yang tergambar dalam kitab-kitab Ulama. Sejak mulai nyantri di pondok ini, enam tahun yang lalu, ia belum pernah membuat ulah yang memalukan almamaternya, rajin mengaji, hafal 30 juz dan yang terpenting tidak pernah membantah. Aku berniat menjodohkannya dengan Gus Zein, anak pamanku yang juga pengasuh pesantren. Aku yakin ia akan menjadi Nyai (panggilan hormat untuk istri kiai, red) yang bisa menjadi teladan bagi masyarakat dan para santri.
Sesuai perintahku, setelah selesai jamaah salat Magrib sepuluh pengurus Pondok Putri menghadapku. Mereka datang berurutan, Wijha berada paling depan dengan gaya berjalannya yang khas. Seluruh pengurus di belakangnya berjalan seperti Wijha, kecuali yang paling belakang, namanya Monika, lengkapnya Monika Saraswati.
Para pengurus kemudian duduk melingkar di karpet, sedangkan aku duduk di sofa yang cukup besar. Mata mereka menatap ke bawah, kecuali si Monika yang begitu berani menatap mataku, urakan sekali. Menurutku dialah santri paling buruk akhlaknya. Tidak pernah ada yang dilakukan kecuali membuat onar, memberontak, membangkang dan melanggar peraturan. Bahkan titah Abah, pimpinan tertinggi pondok ini ia tolak mentah-mentah. Waktu baru nyantri, Abah menyarankan agar namanya yang kebarat-baratan diubah menjadi lebih Islami, Muni’atus Sayiah. Ia berkeras tidak mau. Kalau bukan karena perintah Abah, aku tak mungkin menunjuknya menjadi pengurus. Kata Abah, Monika itu jenius dan berbakat jadi pemimpin. Dan andai Bunda tidak mencegah, sudah kupecat dia dari pengurus karena keburukan akhlaknya itu.
”Mbak-mbak pengurus, malam ini kita akan bermusyawarah tentang seragam para santri yang akan khataman bulan depan. Silakan bagi yang mau usul, boleh modelnya, warnanya, siapa yang akan belanja atau usul lain?” Aku memulai pembicaraan. Mereka hanya diam. ”Monggo kerso (terserah) Ibu, kami menurut saja.” Akhirnya Salma menjawab setelah berpandang-pandangan dengan Wijha dan teman-temannya. ”Baik, kalau begitu besok seragamnya adalah sarung warna hijau, atasan warna hijau muda dan jilbab sutra warna hijau motif bunga-bunga dilengkapi pashmina. “Ini contohnya. Harganya dua ratus lima puluh ribu rupiah,” kataku setelah tidak ada yang menyampaikan usulan. Belum selesai aku bicara, tiba-tiba Monika menyela, ”Em, maaf Bu, boleh saya bicara?” kata Monika. ”Silakan,” jawabku. ”Menurut saya, tidak usah beli seperangkat seragam Bu, cukup atasannya saja nanti bawahannya pakai sarung seragam harian, atau bawahannya saja nanti atasannya memakai seragam putih yang sudah ada. Kalau semua harus beli baru, saya kira santri akan keberatan. Sepertinya tidak semua wali santri sanggup membayarnya.” ”Bagaimana Mbak Monika ini, untuk perayaan Khataman Quran saja pakai perhitungan. Kalau mau kondangan saja kalian sengaja membuat pakaian baru, kok ini buat merayakan Kalam Allah harus banyak pertimbangan. Ini ibadah,” sanggahku. ”Ya, saya paham Bu, tetapi melihat kemampuan santri yang tidak semua dari kalangan berada, saya kira akan banyak yang keberatan. Dan jumlah yang demikian tidak sedikit di pondok ini. Ibadah kan tidak perlu memaksa diri kalau memang tidak mampu. Saya rasa inti acara kita bukan pertunjukan fashion.” Monika masih mendebatku. Pengurus lain terlihat sangat gelisah. Ada yang memandang Monika penuh kekhawatiran, ada yang berparas marah, ada pula yang tertunduk seperti menahan malu. Memang sangat tidak sopan kata-katanya. ”Begini saja, dari pada buang-buang waktu, kita voting, siapa yang setuju usul Monika dan siapa yang setuju pendapat saya, bergantian tunjukkan jari, yang pertama siapa yang setuju usul saya?” perintahku. Seperti yang aku duga, semua mendukung usulanku. Dan Monika memang sendirian. Akhirnya pendapatkulah yang menjadi keputusan. Selesai rapat, aku langsung meghubungi Anisa agar segera mengirim seragam. Satu bulan aku pikir cukup untuk karyawanku menyelesaikan jahitannya.
Seminggu kemudian bahan pakaian itu sudah sampai di tanganku. Anisa, saudaraku yang tinggal di Yogyakarta aku ajak kerja sama sebagai pemasok. Harga darinya dua ratus ribu, jadi keuntungan besar sudah di depan mata. Peluang bisnis memang harus dimanfaatkan, pikirku girang.
Namun, malam harinya Salma dari seksi keamanan tergopoh-gopoh meminta bertemu aku, katanya ada kasus gawat. ”Ibu, mohon ijin menghadap, saya mau menyampaikan berita dari pondok putri” kata Salma dengan muka pucat. ”Ya, katakanlah, ada apa?” jawabku penasaran. ”Mohon ampun Ibu, saya tahu ini kesalahan saya tidak bisa mengendalikan keamanan dalam pondok, sekali lagi ampuni saya, saya siap dihukum apabila dirasa perlu,” katanya terbata-bata. ”Ya, ada apa? Jangan berputar-putar seperti kipas angin!” ”Begini Bu, ada lima belas anak menolak membeli seragam, alasannya karena tidak mampu, kalau tidak diijinkan, mereka akan mengundurkan diri sebagai peserta khataman. Mohon petunjuk, apa yang harus saya lakukan?”. Rasanya aku seperti ditembak rudal mendengar laporan Salma. Spontan tanganku menggebrak meja. ”Apa-apaan ini? siapa yang berulah? Kamu tahu, aku sudah memesan seragam sesuai hasil musyawarah kemarin, pakai uangku dulu, kamu ngerti artinya?” kataku penuh kemarahan. ”Njih Bu, saya mengerti, lantas apa yang harus saya lakukan untuk menghadapi mereka Bu?” ”Kamu ini ngerti apa sok ngerti ya? Bilang ini perintah Abah, tidak bisa dibantah. Kalau masih membandel, panggil semua kesini! Biar jadi urusan Abah.” ”Njih Bu, akan saya laksanakan, saya permisi. Assalamu’alaikum.” Salma pergi dengan muka lebih keruh dari pada ketika dia datang tadi.
Aku panggil Wijha untuk tahu lebih banyak tentang kasus ini. Dan seperti yang ku duga, ini ulah Monika. Benar-benar keterlaluan, tidak beradab, apa dia tidak paham, membantah guru itu bisa mengakibatkan ilmunya tidak bermanfaat? Percuma jenius jika tidak beradab. Aku benar-benar ingin menghukumnya, alasannya jelas, mengakibatkan ketidakharmonisan dalam pondok. Kata Wijha, para santri kini terbelah, sebagian mendukung Wijha dan pengurus lain, sebagian mendukung Monika. Kata dia jumlah pendukung Monika sudah meningkat sekitar dua puluh lima orang. Dia pasti berpidato di sana-sini agar teman-temannya terpengaruh. Ini akibatnya kalau santri terlalu dibebaskan. Aku sudah sarankan pada Abah dan Bunda agar melarang mereka ikut organisasi, terutama yang mahasiswa seperti si Monika itu, tapi Bunda bilang mereka perlu banyak pengalaman. Apa gunanya pengalaman kalau dipakai untuk membantah gurunya sendiri. Seperti bukan santri saja, liar.
Suatu sore ketika Abah dan Bunda tengah duduk di beranda sambil muthola’ah, belajar kitab, aku menghadap. Kuceritakan apa yang terjadi lengkap dengan kelakuan Monika di musyawarah tempo hari. ”Wardah, Abah sangat mengerti alasan mereka. Sebaiknya masalah ini cepat diselesaikan agar tidak mengganggu proses mengaji. Biarkan saja mereka yang tidak bisa membeli, jangan diijinkan mengundurkan diri, kasihan mereka sudah ngaji dengan serius. Dari keuntunganmu kan kau bisa mensubsidi yang tidak mampu, jadi yang kaya membantu yang miskin. Itulah pemimpin yang adil Nak” kata Abah lembut. Jauh dari apa yang aku harapkan. ”Bunda setuju. Bunda pikir, santri harus peka terhadap masalah sosial. Dan di pondok inilah mereka belajar membangun kepekaan. Kau sudah kami percaya untuk mengurus Pondok Putri, jadilah teladan yang baik,” kata Bunda menimpali Abah. Aku makin lemas. Membayangkan keuntunganku mengecil untuk subsidi santri-santri miskin. Aku tak menyangka Abah dan Bunda tidak berpihak padaku. ”Bunda, rencana saya keuntungan dari seragam ini akan saya pakai untuk mengganti karpet Mushola Pondok Putri yang sudah usang. Itu baik kan Bunda”
”Itulah Nak, kau harus belajar lebih arif, rencana itu baik, tetapi kita, jangan pernah memaksa mengambil keuntungan dari orang-orang yang sepantasnya kita bantu. Jangan lupakan etika berbisnis Anakku. Islam mengajarkannya,” kata Bunda lembut.
Itulah sepenggal peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Kebencianku pada Monika tidak serta merta menghapuskan ingatan tentang dia, meski telah delapan tahun ia meninggalkan pondok ini setelah lulus S2 di kota ini. Kabar yang sampai di telingaku ia diterima bekerja sebagai peneliti di lembaga negara di Jakarta.
Detik ini aku berdiri termangu di sudut lantai atas teras rumahku. Di bawah sana sedang ada ribuan orang mendengarkan pidato seorang pejabat negara, Menteri Pemberdayaan Perempuan. Namanya Monika Saraswati. Tidak lain adalah alumni pondok pesantren ini yang teramat aku benci. Dia sedang bercerita dengan bangga bahwa ia dulu mondok di pesantren ini, dan dengan lugas mengakui kenakalannya, mengulas daftar pelanggaran dan onar yang pernah dibuatnya, meminta maaf, berterima kasih dan memuji Abah serta Bunda yang telah menjadi pendidik paling arif dan bijaksana karena memberikan kesempatan belajar terhadap dirinya yang miskin sama besarnya dengan santri yang kaya.
Satu jam berpidato, ia tidak menyebut namaku, rupanya ia juga membenciku, mengabaikanku yang telah mengajarinya membaca dengan baik. Setelah asyik bernostalgia, ia mengatakan bahwa kantornya menawarkan kerja sama pemberdayaan santri perempuan agar tidak gagap ketika berada di masyarakat luas. Ia prihatin dengan pendidikan santri putri yang menekankan kepatuhan pada suami tanpa dibarengi dengan upaya memandirikan mereka. Hal itu akan menimbulkan ketergantungan berlebihan dan memiskinkan perempuan. Ia menawarkan untuk mengadakan berbagai macam program tambahan yang dapat mendukung keberdayaan santri putri tanpa mengabaikan nilai kesalehan perempuan.
Setiap kalimatnya jeda, selalu ada gemuruh tepuk tangan dan takbir yang menyambutnya. Wajah Abah dan Bunda tampak berbinar haru. Sementara di sini aku mendidih, ingin meledakkan bom tepat di podium tempat ia bicara. Betapa suasana akan kacau balau jika itu benar aku lakukan. Astagfirullah, apa yang aku pikir barusan. Di tengah lamunanku aku mendengar, ”Saya juga menyampaikan ribuan terima kasih kepada yang terhormat Ibu Nyai Hj. Wardah yang telah mendidik saya dengan caranya yang khas, membuat saya semakin sadar bahwa orang miskin seperti saya harus berjuang sangat keras untuk menggapai mimpi, menyadarkan bahwa saya tidak sendirian. Di dunia ini ada banyak kaum tidak berdaya, dan kini saya memilih untuk berpihak pada mereka, mencari alamat Allah dalam diri mereka. Dan saya benar-benar merasa berjumpa dengan Sang Maha Pengasih setiap menyapa mereka, menghayati rintihan mereka, dan saya bahagia mengamini doa-doa tulus mereka. Sekali lagi terimakasih Ibu Hj.Wardah”. Terbata-bata kalimat itu diucapkannya. Matanya berkilat mengembun. Selanjutnya hening..
Aku tertegun. Tersindir. Tertampar oleh kenyataan bahwa santriku yang paling kubenci berterimakasih atas kebencianku. Aku terhempas olehnya, menyadari sekian lama kebeningan hatiku tercemari oleh perasaan yang tidak semestinya. Sombong, riya, dengki dan pemarah. Aku malu pada ayat suci yang senantiasa meluncur dari bibirku, karena ternyata semua itu belum cukup menuntun hatiku menjadi hamba Pencipta yang bersih dari debu. Terimakasih Allah, Engkau memberiku kesempatan untuk kembali mengesakan-Mu. 
Load disqus comments

0 Coretan